Chit2Chat

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

Selamat Datang di chit2chat. ayo chit chat bareng buat namabah wawasan dan pengetahuan juga teman-teman yang asik. AYO buruan DAFTAR!!!Enjoy the Chiting...


    rukun dan cinta

    mimin
    mimin
    Admin


    Jumlah posting : 88
    Join date : 16.07.09
    Age : 34
    Lokasi : Medan

    rukun dan cinta Empty rukun dan cinta

    Post  mimin Mon Jul 27, 2009 7:40 am

    Berita menghibur pertama adalah penampilan Twilite Orchestra dalam pergelaran musik ”Wonderful Christmas-Living in Harmony” di Istora Senayan Jakarta, didukung komunitas lintas kepercayaan. Dalam acara itu musisi, pengisi acara, panitia, dan penontonnya berasal dari berbagai latar kepercayaan.

    Berita menghibur kedua adalah perihal kerukunan di Joyodiningratan Solo sejak sekitar 60 tahun lalu. Ini digambarkan dengan keberadaan Mesjid Al Hikmah dan Gereja Kristen Jawa Joyodiningratan di alamat sama, disertai kerukunan antarpengurus dan warga sekitarnya. ”Hubungan seperti ini sangat indah,” demikian diungkapkan Ketua Takmir Mesjid Al Hikmah, M. Nasir (Kompas, 18/12).

    Di hari yang sama di tempat lain yang terjadi bukan harmoni. Telah terjadi pemaksaan oleh suatu kerumunan massa yang menuntut pembubaran suatu kelompok kepercayaan, disertai pengrusakan, dengan mengatasnamakan Allah. Sebuah kekerasan terjadi akibat kesulitan memahami femomena perbedaan.

    Dapat dikatakan, keadaan harmoni dalam dua berita menggembirakan tersebut mewakili suatu masyarakat sehat, yang mampu mencinta. Sebaliknya, keadaan tidak toleran yang disampaikan dalam berita yang lain merupakan cermin suatu masyarakat yang belum matang dalam mencinta.

    Cinta Merupakan Kebutuhan Eksistensial
    Erich Fromm (1900-1980), psikiater yang merupakan tokoh dalam Psikologi Humanistik berpendapat bahwa manusia memiliki kebutuhan eksistensial untuk mengatasi rasa keterpisahan dengan alam semesta sejak kelahirannya di dunia.

    Kesadaran akan diri sendiri sebagai suatu kesatuan lahir yang terpisah, kesadaran akan ketidakberdayaan di hadapan kekuatan alam dan masyarakat, telah membuat eksistensi manusia terpecah belah, dan diliputi kecemasan.

    Karena itu, manusia memiliki kebutuhan eksistensial, yakni kebutuhan akan persatuan. Jawaban sepenuhnya terletak dalam mencapai kesatuan antarpribadi, kesatuan melalui perpaduan dengan pribadi lain, dalam cinta.

    ”Tanpa cinta, kemanusiaan tidak akan ada,” kata Fromm.
    Cinta itu meliputi bermacam-macam bentuk, yaitu cinta sesama dan cinta persahabatan, cinta Tuhan, cinta orang tua-anak, cinta pada diri sendiri, maupun cinta romantis. Dari berbagai jenis cinta tersebut, cinta sesama merupakan bentuk cinta yang paling mendasar.

    Menurut Fromm, cinta merupakan seni. Untuk dapat mencintai, seseorang perlu belajar. Bukan saja belajar teori, melainkan juga praktik, sampai keduanya (teori dan praktik) menjadi terpadu sebagai intuisi. Selain itu untuk mampu mencintai seseorang harus menempatkan cinta sebagai tujuan yang tinggi, seperti halnya dalam menguasai seni-seni lainnya.

    Cinta adalah penembusan aktif ke dalam pribadi lain hingga mengalami rasa persatuan. Cinta yang matang menurut Fromm memuat beberapa komponen yang saling bergantung satu sama lain, yakni pengasuhan, perhatian, tanggung jawab, dan pengenalan/pengetahuan (dengan segenap akal budi) terhadap pribadi lain.

    Komponen-komponen tersebut sekaligus merupakan ciri yang ditemukan dalam pribadi matang, yaitu pribadi yang mengembangkan kekuatannya sendiri secara produktif, yang hanya mau memiliki apa yang ia usahakan sendiri, yang telah meninggalkan impian-impian narsistis tentang kemahatahuan dan kemahakuasaan, yang telah mencapai kerendahan hati yang berdasar pada kekuatan batin yang hanya dapat dihasilkan oleh kegiatan produktif sejati.

    Apa yang kita lihat dalam kerukunan antarmanusia dari berbagai golongan, ras, etnis, dan antaragama atau keyakinan, jelas merupakan wujud dari kemampuan untuk mewujudkan cinta yang berasal dari pribadi-pribadi yang matang.

    Mereka yang telah mewujudkan kerukunan/persatuan antarumat manusia berarti telah mampu menembus batas-batas yang memisahkan dirinya dengan orang-orang lain. Mereka telah menembus kulit luar perbedaan antarumat manusia, dan masuk pada kedalaman pribadi lain, serta mengalami persatuan.

    Mengalami Alienasi
    Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Takmir Mesjid Al Hikmah di atas, sungguh sangat indah hidup dalam harmoni. Sayang sekali, tidak semua dari kita sanggup mewujudkan harmoni seperti itu.

    Tampaknya dengan rasa keterpisahan yang melekat, perbedaan-perbedaan antarkelompok yang tampak pada kulit luar telah menimbulkan ilusi yang menakutkan (dirasa mengancam) bagi orang-orang tertentu.

    Dengan demikian, mereka merasa harus melindungi dirinya dari kelompok-kelompok lain yang berbeda dengan dirinya. Yang terjadi dalam hal ini adalah: kebutuhan akan persatuan yang hakiki telah direduksi menjadi kebutuhan akan kesamaan atau keseragaman. Mereka yang tidak sama, tidak seragam dengan kelompoknya, dianggap sebagai musuh.

    Ketika seseorang tidak menyatukan diri dengan orang-orang lain, yang terjadi adalah bahwa orang tersebut tetap merasa terpisah, merasa terasing dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain (alienasi). Menurut Fromm, orang yang mengalami alienasi tidak mengalami dirinya sendiri sebagai pusat yang memancarkan aktivitas-aktivitas hidup cinta dan akal budinya.

    Dengan keadaan tersebut mereka yang teralienasi akan bergantung dan tunduk sepenuhnya pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya seperti pemimpin politik, pemimpin negara, pemimpin kelompok, dan sebagainya.

    Selain itu mereka juga menjadi penyembah Tuhan yang diperlakukan sebagai berhala, mencintai orang lain sebagai berhala, dan juga menyembah perwujudan nafsu-nafsu irasional (memburu uang, kehormatan, harga diri, dan lain-lain, menghancurkan orang lain yang mengancam, dan sebagainya).

    Mengenai hal ini Fromm menyatakan: “Inilah fakta dramatis bahwa manusia tidak mengalami dirinya sebagai pengemban aktif kekuatan-kekuatan dan kekayaan miliknya, tetapi sebagai ‘benda’ yang jatuh miskin, tergantung kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya, dengan siapa ia telah memproyeksikan hakekat hidupnya sendiri”.

    Fromm menggambarkan kemampuan mencintai sebagai perwujudan kematangan pribadi seseorang; dan sebaliknya kegagalan untuk mencintai sekaligus merupakan kegagalan untuk berkembang menjadi pribadi yang matang, bahkan neurotis.

    Menuju Persatuan
    Berdasarkan uraian Erich Fromm tampak bahwa kegagalan seseorang untuk berkembang menjadi pribadi yang matang, yang produktif, yang mampu mencinta terletak pada kesediaannya untuk membuka diri terhadap orang lain.
    Pengenalan terhadap orang lain dengan segenap akal budi jelas merupakan pintu masuk yang sangat penting, agar berbagai kelompok atau komunitas dapat hidup secara harmonis.

    Pentingnya pengenalan terhadap anggota kelompok lain juga dinyatakan dalam Psikologi Sosial. Konflik antarkelompok dan kekerasan massa seperti yang sering kita saksikan di negeri kita, dalam perspektif Psikologi Sosial dijelaskan sebagai fenomena yang terjadi karena kekurangpahaman terhadap anggota kelompok lain.

    Kurangnya pengetahuan mengenai kelompok lain ini cenderung diisi dengan informasi yang berupa stereotip mengenai kelompok tersebut. Stereotip cenderung menimbulkan prasangka, dan prasangka melahirkan diskriminasi, dan akhirnya menjadi pemicu konflik dengan kekerasan massa.

    Satu hal lain yang juga sering memicu konflik antarkelompok, selain kekurangan pengetahuan terhadap anggota kelompok lain, adalah adanya kecenderungan kita untuk melakukan pembedaan kelompok. Kita cenderung menilai positif terhadap kelompok di mana kita menjadi anggota (in-group) dan cenderung menilai negatif kelompok lain (out-group).

    Hal ini merupakan mekanisme yang cenderung kita lakukan dalam mengelola konsep diri berdasarkan keanggotaan kita dalam kelompok. Pada dasarnya setiap orang ingin memiliki konsep diri positif. Lalu, karena kelompok di mana kita menjadi anggota merupakan bagian integral dari konsep diri kita, kita cenderung menilai kelompok kita lebih positif daripada kelompok lain, supaya kita merasakan diri positif.

    Nah, bila kita tidak menyadari proses-proses tersebut dalam diri kita, tentu saja kita mudah kehilangan orientasi untuk mengenal anggota kelompok lain sehingga tetap terasing, kurang dapat mencintai, bahkan mudah terseret dalam konflik. @

      Waktu sekarang Thu Apr 18, 2024 11:06 pm